2. Perumusan Dasar Negara
Dasar negara adalah pondasi. Ibarat bangunan, tanpa pondasi yang kuat tentu tidak akan berdiri dengan kokoh. Oleh karena itu, negara dasar harus menyiapkan sekuat sebelum negara didirikan. Ketua BPUPKI dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat pada pidato awal sidang pertama, menyatakan untuk menyiapkan Indonesia Untuk menjawab permintaan Ketua BPUPKI, beberapa tokoh negara meminta rumusan dasar negara. Rumusan yang disukai memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Namun demikian, rumusan-rumusan ini memiliki persamaan dari segi materi dan semangat yang menjiwainya. Pandangan para pemilik negara tentang rumusan dasar disampaikan oleh sejarah perjuangan bangsa dan dengan melihat pengalaman bangsa lain. Meskipun diilhami oleh visi-pemikiran dunia besar, tetapi tetap berakar pada keyakinan dan pemikiran besar dari bangsa Indonesia sendiri.
Usulan tentang Indonesia merdeka dalam sidang pertama BPUPKI secara berurutan dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno. Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 Bpk. Muhammad Yamin, ketika diajukan merancang dasar negara Indonesia mengatakan bahwa:
”... rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara yang diperoleh dari peradaban kebangsaan Indonesia; orang timur pulang ke budaya timur. "
”... kita tidak berniat, lalu akan memohon sesuatu susunan tata negara negeri haram. Kita bangsa Indonesia masuk yang beradab dan budaya kita beribu-ribu tahun berumurnya. "(Risalah Sidang, halaman 12)
Muhammad Yamin diterima secara lisan lima dasar untuk negara Indonesia merdeka, yaitu sebagai berikut.
Setelah selesai berpidato, Muhammad Yamin menyampaikan konsep dasar negara Indonesia merdeka yang disampaikan kepada ketua sidang, konsep yang disampaikan berbeda dengan isi pidato sebelumnya. Asas dan dasar Indonesia merdeka dituliskan oleh Muhammad Yamin sebagai berikut.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan persatuan Indonesia
- Rasa enak yang adil dan beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak- sanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan pidatonya tentang dasar negara. Menurut Soepomo, dasar negara Indonsia merdeka adalah sebagai berikut.
Soepomo juga menunjuk negara Indonesia merdeka membebaskan negara yang anggotanya bergabung dengan golongan terbesar di masyarakat dan tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau ekonomi yang paling kuat). Akan tetapi mengatasi semua golongan dan segala paham perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat.
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan pidato tentang dasar negara Indonesia merdeka. Usulannya berbentuk filsafatische grondslag atau weltanschauung. Philosophische Grondslag atau Weltanschauung adalah fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, hasrat yang sedalam-dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang Indonesia merdeka yang kekal dan abadi. Negara Indonesia yang kekal abadi adalah Pancasila. Rumusan dasar negara yang disarankan olehnya adalah sebagai berikut.
Ir. Soekarno dalam sidang itu pun menyampai- kan dasar sidang Negara itu bukan dinamakan Panca Dharma. Atas petunjuk seorang ahli bahasa, rumusan dasar negara ini dinamakan Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas dasar pemikiran yang ditentukan Negara Indonesia yang kekal dan abadi.
Pada akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang meminta pengumpulan anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya. Panitia Kecil beranggotakan orang di bawah pimpinan Ir. Soekarno, dengan anggota terdiri atas Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kyai Haji Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin, Sutardjo Kartohadikoesoemo, AA Maramis, Otto Iskandardinata, dan Drs. Mohammad Hatta.
Panitia kecil mengadakan pertemuan untuk mengumpulkan dan meminta kami-usul membahas beberapa masalah, yaitu Indonesia Merdeka. Usul-usul yang dikumpulkan dikumpulkan dalam beberapa golongan, yaitu: (1) golongan usul yang meminta Indonesia merdeka selekas-lekasnya; (2) golongan usul yang mengenai dasar; (3) golongan usul yang membahas soal unifikasi dan federasi; (4) golongan usul tentang bentuk negara dan kepala negara; (5) golongan usul yang menyangkut warga negara; (6) golongan usul yang mengenai daerah; (7) golongan usul tentang masalah agama dan negara; (8) golongan usul yang berkaitan dengan pembelaan, dan (9) golongan usul yang menyangkut soal keuangan (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 1995: 88-89)
Sesudah sidang Chuo Sangi Dalam, Panitia Kecil mengadakan rapat dengan tiga puluh persen (38) anggota BPUPKI di Kantor Besar Djawa Hookokai. Pertemuan tersebut membentuk lagi satu Panitia Kecil yang terdiri atas anggota-anggota sebagai berikut: Ir. Soekarno sebagai ketua, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, AA Maramis, Pak Achmad Soebardjo (golongan kebangsaan), Kyai Haji Wahid Hasjim, Kyai Haji Kahar Moezakir, Haji Agoes Salim, dan R. Abikusno Tjokrosoejoso (golongan Islam). Panitia Kecil yang membantah sembilan orang ini dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan, membahas untuk membicarakan usul-usul tentang perumusan dasar negara.
Panitia mengadakan sembilan rapat di rumah kediaman Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Setelah itu, pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan telah mencapai satu persetujuan atau persetujuan tentang persiapan pembukaan dasar hukum (Undang-Undang Dasar). Rapat berlangsung karena banyak perbedaan paham antarpeserta tentang rumusan dasar negara soal agama dan negara. Persetujuan Panitia Sembilan ini berlaku untuk perancangan undang-undang dasar. Oleh Ir. Soekarno, rancangan pembukaan hukum dasar ini diberi nama "Mukadimah", oleh Bpk. Muhammad Yamin dinamakan "Piagam Jakarta", dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut "Perjanjian Tuan-tuan". (Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Tim Penyusun, 2012: 35-36).
Setelah rapat yang cukup banyak, disetujui rumusan konsep negara yang ditetapkan dalam rancangan mukadimah hukum dasar. Naskah ini memiliki banyak persamaan dengan Pembukaan UUD 1945. Sebagai bunyi lengkap naskah mukadimah, hukum dasar adalah sebagai berikut:
”Meminta kebebasan sejati adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di dunia harus ditolak, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, mendukung berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyetujui dengan ini kemerdekaannya. Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan menumpahkan darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, Sumber: jakarta.go.id
Naskah "Mukadimah" yang ditandangani oleh sembilan orang anggota Panitia Sembilan, dikenal dengan nama "Piagam Jakarta" atau "Piagam Jakarta" . PanitiaKecilpenyelidikusul-usulberkeyakinanbahwa ”Mukadimah” dapat menghubungkan, mempersatukan paham-paham yang ada di antara anggota-aggota BPUPKI. Selanjutnya, naskah ”Mukadimah” ini dibawa ke sidang kedua BPUPKI tanggal 10 - 17 Juli 1945. Pada tanggal 14 Juli 1945, mukadimah disetujui oleh BPUPKI. Dalam dokumen ini, seperti yang disebutkan di Jakarta, ada rumusan dasar dari negara berikut.
- Ketuhanan, dengan partisipasi untuk syari'at Islam bagi pemeluk- pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat mengundang dalam permu syawaratan diundang
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan dasar negara yang diterjemahkan dalam naskah ”Piagam Jakarta” tersebut, dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 mengubah. Rumusan dasar negara yang diubah adalah sila pertama yang semula berbunyi ”Ketuhanan, dengan ketentuan yang memungkinkan syari'at Islam untuk pemeluk- pemeluknya”, diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Latar belakang perubahan sila pertama, menurut Mohammad Hatta bermula dari datangnya memerintah opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Mereka adalah wakil-wakil Protestan dan Katolik dari wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang yang disetujui oleh bagian kalimat rumusan dasar negara dalam naskah Piagam Jakarta. Kalimat yang diterjemahkan adalah ”Ketuhanan, dengan persyaratan yang berlaku syari'at Islam untuk pemeluk-pemeluknya”.
Terhadap pembicaraan tersebut, sebelum sidang PPKI dimulai, Mohammad Hatta mengundang Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Bp. Kasman Singodimedjo, dan Bp. Teuku Mohammad. Supaya tidak terpecah sebagai bangsa, tokoh pendiri bangsa yang bermusyawarah telah bermufakat untuk menghilangkan bagian kalimat tersebut dan dipanggil dengan rumusan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, rumusan dasar negara yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebagai berikut.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat mengundang dalam permusya- waratan / perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia







0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda.